PASAR KANJENGAN : Bara dan Legenda

title

 

“Pasar Johar Kobongan maneh”

“Bukan Pasar Johar tapi pasar Kanjengan”

“Bener Pasar Kanjengan yang terbakar”

Demikian cuitan di grup WA Warkop KFS (Komunitas Fotografer Semarang), begitu si apel krowak alias iphone saya nyalakan setelah mendarat di Bandara Semarang pada tanggal 18 juni 2016 siang.

Setelah mobil saya mendekati daerah jalan Pemuda, terlihat asap mengepul dari kejauhan, berasal dari daerah pasar Johar, semangat journalism terasa muncul mendadak untuk segera meliput, tetapi panggilan perut lebih memaksa untuk didahulukan. Akhirnya perhentian pertama di daerah SMA Loyola, sambil menengok almamater kenangan waktu masih remaja hahahaha, tak lain dan tak bukan adalah asem-asem daging Koh Liem. Akhirnya urusan perut teratasi dengan segera, maka perhentian selanjutnya saya putuskan adalah ke Pasar Kanjengan!

Mendekati jalan Pemuda depan Sri Ratu Swalayan suara mobil pemadam kebakaran alias “blangwir” meraung-raung datang dan pergi, asap gelap masih mengepul. Melewati daerah perempatan pasar Johar terlihat jalan masuk ke arah masjid Kauman sudah di blokir untuk mengamankan jalur mobil pemadam kebakaran. Setelah kesulitan mencari area parkir akhirnya saya memutar balik dan mencari parkir di daerah rumah-makan OEN yang legendaris. Alhasil berjalan kaki merupakan pilihan yang tepat, sambil berolah-raga siang!

Sampai di lokasi sudah terlihat kerumunan masyarakat yang menonton yang memenuhi kanan-kiri jalan. Hiruk-pikuk raungan sirine mobil pemadam dan teriakan petugas yang saling berkoordinasi menyatu dengan bau asap, bau comberan, sampah, serta panas menyengat, menambah suasana makin tegang buat saya.

Saya mendekati titik ruko yang terbakar, asap tebal hitam mulai membuat nafas tidak nyaman, tapi rasa ingin mendokumentasikan membuat saya tetap melangkah. Setelah mencari daerah yang aman saya mulai memotret dan mencoba mencari informasi tentang kebakaran ini. Jadilah semacam wawancara kecil-kecilan mencoba menjadi seorang jurnalis partikelir. Inilah yang membuat saya merasa terbeban secara moral untuk menulis dan mem-published catatan cerita foto dalam blog saya ini untuk berbagi.

Masukan dari salah seorang anggota PMK pak Adam, mengatakan “Api sudah bisa dikendalikan untuk tidak meluas mas, memang pemadaman memakan waktu lama karena yang terbakar adalah toko dan sekaligus gudang plastik”, begitu jawabannya begitu saya menanyakan kenapa api kadang mengecil dan membesar lagi serta tidak mudah padam.

Setelah kelelahan memotret sekitar 1,5 jam dan saya merasa sudah cukup akhirnya saya pun ulang. Dalam perjalanan pulang ke parkiran mobil dengan mengendarai becak, saya sempat berfikir bahwa kebakaran kali ini memang tidak sehebat si jago merah waktu meluluh-lantakan pasar Johar setahun yang lalu. Tetapi kebakaran yang muncul pada waktu yang sama menjelang Lebaran membuat saya bertanya-tanya dan melamun ke tutur sebuah legenda bahwa “Usaha yang dilakukan di daerah pasar Johar tidak akan pernah berhasil !” hmmm… kok jadi kayak kutukan ya ???? Atau memang Pasar Johar sudah saatnya untuk di revitaliasi kembali ????

Di bawah ini beberapa rangkaian Photo Story dokumentasi kejadian kebakaran sebagian pasar Kanjengan. Selanjutnya saya tidak bercerita lebih tentang kebakaran ini tapi mencoba mencari sumber sejarah dan legenda tentang pasar Johar, Kanjengan dan sekitarnya yang tentunya lebih menarik dari pada sebuah musibah kaum urban.

 

johar2johar3johar8johar7johar6johar9johar5

Adam - petugas PMK

Adam – petugas PMK

johar13johar12johar14johar19johar16johar4johar11johar17johar18johar20johar21johar22

BEBERAPA CATATAN SEJARAH JOHAR DAN SEKITARNYA.

Sebuah penggalan dari koran suara merdeka di bawah ini menurut saya sangat menarik karena mengajak kita memutar waktu kembali ke masa kejayaan Kanjengan pada masa awal kejayaannya. Bahkan mungkin beberapa dari pembaca adalah saksi hidup dan melakukan hal yang sama… :

Sabtu sore di tahun 1979, Haris siap-siap bepergian. Baju terbaik telah dikenakan, minyak wangi ia semprotkan di badan. Dengan mengendarai sepeda ontel, remaja tanggung yang tinggal di Jalan Patriot tersebut bergegas menuju Bioskop Kanjengan.

Untuk menonton film di tempat itu, Haris memerlukan diri berdandan. Bukan apa-apa, saat itu Kanjengan merupakan bioskop papan atas di Semarang. Mereka yang nonton kebanyakan dari kalangan bergengsi.

Keutamaan kelas Kanjengan, kala itu, dapat dilihat dari harga karcisnya. Jika bioskop lain seperti Ria, Indra, Rajawali, dan Peterongan rata-rata bertarif Rp 150, Kanjengan mematok harga Rp 850 untuk pertunjukan sore, dan Rp 1.100 untuk show malam.

”Untuk bisa nonton film Gator yang dibintangi Burt Reynolds di Kanjengan, saya yang waktu itu masih sekolah SMA, harus mengumpulkan uang saku selama seminggu,” papar Haris, yang kini berusia 44 tahun, mengisahkan masa lalunya.

Bioskop Kanjengan atau Kanjengan Theatre menempati lantai III pusat perbelanjaan Kanjengan. Dengan tarif sebesar itu, penonton beroleh fasilitas setimpal. Tempat duduknya empuk, ruangannya sejuk karena dilengkapi AC. Lobi bioskop itu juga nyaman. Selain tempat duduk empuk, sebuah kafe disediakan bagi penonton selama menunggu waktu pertunjukan.

johar26

Setali tiga uang dengan gedung pusat perbelanjaan yang menaungi Bioskop Kanjengan. Gedung berarsitek minimalis yang dibangun di atas tanah bekas Pendapa Kabupaten Semarang itu juga tergolong berkelas. Saat itu, Gedung Kanjengan dapat dikatakan sebagai pusat perbelanjaan moderen pertama yang berkonsep ”one stop shopping” di Semarang.

Selain bioskop dan toko-toko yang menjual aneka barang, tempat itu dilengkapi dengan sentral video game. Yang lebih mengagumkan, Kanjengan adalah gedung pertama di Semarang yang dilengkapi fasilitas eskalator, alias tangga berjalan.

”Saya masih ingat, waktu itu banyak warga datang ke Kanjengan cuma untuk mencoba rasanya naik eskalator, Mereka berkali-kali hanya naik-turun tangga berjalan itu,” kata Haris. (Suara merdeka 13 juni 2008)

Catatan Sejarah Aloon-aloon Semarang 

Perkembangan pasar Johar dan sekitaranya tidak terlepas dari keberadaan Aloon-aloon lama Kanjengan sebagai bentukan baru akan kebutuhan sebuah pusat pemerintahan dan “tetenger/Icon” yang menjadi bagian dari Kota Lama (kawasan gereja Blenduk)  . Demikian beberapa catatan para ahli sejarah :

  1. Kota Lama dahulunya memiliki peranan yang sangat penting di dalam pengelolaan tata ruangnya diantaranya kedudukan Alun-alun yang berada diujung timurlaut Jl Bojong (Sekarang Jl. Pemuda) dekat Hotel du Pavillon (sekarang Hotel Dibyapuri) dan sudah ada sejak akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17 yang waktu itu keadaan sekitarnya belum teratur, kecuali ada bangunan pendopo. Baru di abad 18-19 dikala bangsa eropa mulai masuk, maka alun alun perlahan lahan tapi pasti mengalami perubahan, antara lain di bangun sebuah masjid besar dekat Jl Kauman. Juga dibangun pendopo besar yang disebut “ Kanjengan” sebagai pusat pemerintahan (Jongkie Tio:35)
    Aloon-aloon lama Kanjengan

    Aloon-aloon lama Kanjengan (photo archieve Google images)

     

  2. Masa depan suatu wilayah, sangat bergantung pada peran penguasa yang terkait. Di Alun- alun Semarang, terutama pada masa prakolonial, yakni dari Bupati awal (di Kanjengan) yang bernama Tumenggung Suro Adi Menggolo, telah mampu menjaga keberadaan Alun-alun sebagai lapangan luas di depan Pendopo Bupati, sebagai lambang penguasa Jawa sekaligus tempat komunikasi antara Bupati dengan rakyatnya. Pada masa kolonial, batas Alun-alun terlihat terpotong sekaligus dibatasi oleh jalan Bodjong. Konsep bentuk Alun-alun, yang pada awalnya berbentuk persegi, saat itu menjadi berbentuk trapesium. Dapat dicermati bahwa saat itu penguasa setempat (Bupati) tidak dapat membuktikan eksistensinya apalagi kekuasaannya. Dan sebenarnya peristiwa tersebut merupakan titik awal berubahnya kawasan Alun-alun dari fungsi awalnya, yakni pemerintahan (Khrisna, 2008: 63).

Catatan Sejarah Pasar Johar dan Sekitarnya

Kawasan Pasar Johar yang sekarang ini ada, merupakan perubahan dari aloon-aloon lama Kanjengan sebagai pusat kota masa itu. Dengan kronologis berkisar dari sebuah aloon-aloon dibuat pendopo Kanjengan, Masjid Agung Kauman, Pasar Pedamaran, Pasar Johar dan Pasar Kanjengan. Pada akhirnya aloon-aloon hilang/habis untuk pusat bisnis/grosir, kemudian dipindahkan ke kawasan kaki bukit Candi yang sekarang disebut Simpang Lima. Demikian beberapa catatan sejarah dari para ahli :

  1. Pasar tertua di Semarang antara lain Pasar Padamaran yang terletak di daerah Pecinan, dekat jembatan Jurnatan (jl. H. Agus salim) yang banyak penduduknya berjualan damar, yaitu bahan untuk membatik, sehingga daerah itu dikenal dengan naman “Pedamaran”. Pada akhirnya para pedagang dan pembeli mulai masuk ke daerah sekitarnya, hingga di sekitar Aloon-aloon yang waktu itu masih banyak ditumbuhi pohon-pohon rindang yang dikenal dengan Pohon Djohar, ini terjadi di tahun 1865. (Jongki Tio)
    Pasar Johar

    Pasar Johar (photo archieve wikipedia)

     

  2. Pada Tahun 1920, Pemerintah Belanda dalam upaya menertibkan para pedagang dibikinkan Loods-loods (los) ruangan atau petak-petak memanjang. (Jongki Thio)
  3. Sejarah Pasar Johar dimulai sejak satu abad lalu yaitu sekitar tahun 1860. Dulunya pasar ini merupakan pasar krempyeng. Pasar krempyeng muncul di sisi timur alun- alun. Keberadaan paar krempyeng tersebut pada akhirnya mengalahkan tiga pasar kota yang sebelumnya mampu bertahan selama bertahun-tahun. Keberadaan pasar krempyeng tersebut didukung oleh adanya ruang terbuka berupa alun-alun. Adanya pasar krempyeng tersebut makna kegiatan ritual keagamaan dan kenegaraan dari alun-alun mulai berubah menjadi makna kehidupan sekuler dan kehidupan sehari-hari, dan pada akhirnya pemerintah belanda memutuskan untuk membangun sebuah pasar di sisi timur alun- alun tersebut (Sumber: wijanarka 2007, 128).OLYMPUS DIGITAL CAMERA
  4. Menurut budayawan dan peneliti Semarang, Djawahir Muhammad “Ada cerita bahwa keberadaan pohon Johar tersebut merupakan hadiah dari Sunan Pandanaran yang tak ingin kawasan tersebut kumuh oleh tenda pedagang. Kanjeng Sunan kemudian memerintahkan menanami pohon Johar untuk berteduh.” (Djawir Muhammad)
  5. Menurut Djawahir M pada tahun 1931 pemerintah praja ingin menyatukan beberapa pasar, diantaranya: Pasar Pedamaran, Johar, Beteng, Jurnatan, dan Pekojan.Dan Johar terpilih menajdi pusatnya karena letaknya yang strategis.Kemudian pada tahun 1933 Ir. Thomas Karsten ingin membuat usulan rancangan yang bentuk dasarnya mirip dengan Pasar Jatingaleh. (Djawir Muhammad).OLYMPUS DIGITAL CAMERA
  6. Thomas Karsteen sang arsitek itu, juga memikirkan potensi lokal dalam rancangan gedungnya. Pasar Johar, diresmikan bertepatan satu tahun setelah perayaan perkawinan Ratu Juliana dengan Pangeran Bernard pada 1937, di Semarang.Johar sangat dibanggakan, karena bentuk pasarnya yang bagus dengan struktur bangunan. Seperti payung terbalik, bertingkat dua, dan dianggap modern di zamannya. Lokasi pasar juga menggunakan sebagian lahan Aloon-aloon Timur.Pasar Johar diprediksi oleh Karsteen untuk 50 tahun mendatang. Namun belum genap 50 tahun (diperkirakan genap 50 tahun di tahun 1988), yaitu 1970-an pun, Johar sudah kelebihan muatan pedagang. Karena penduduk kota makin padat, sehingga pasar terasa sempit meski sesunggguhnya luas. (suara Merdeka 4 Oktober 2005,Ir R Siti Rukayah MT).
  7. Pasar Johar pernah tercatat sebagai pasar tercantik di Asia Tenggara (Anonim-Google).

Catatan Sejarah Pasar Kanjengan

Pasar Yaik atau Kanjengan merupakan sebuah pusat perbelanjaan yang sangat megah dan serba modern pada saat itu. Memiliki Eskalator pertama di Semarang yang menjadi buah bibir masyarakat dan banyak yang datang hanya untuk mencoba dengan turun dan naik.  Bahkan untuk membangun pusat perbelanjaan ini pemerintah kota semarang pada saat itu harus merelakan Pendopo Kanjengan! Berikut ini catatan sejarah yang berkaitan dengan pasar kanjengan :

  1. Asal mula nama pasar JA’IK, menurut Jongkie Tio dalam bukunya Kota Semarang dalam Kenangan disebutkan : menurut cerita, nama Ja’ik berasal dari sayembara yang diadakan oleh Harian Suara merdeka dalam upaya mencari nama bagi aloon-aloon Semarang, atas usul pemilik koran itu. Setelah dipakai kata “Ja’ik” kemudian menjadi kata yang terkenal dikalangan masyarakat Semarang, biasanya untuk menunjukan kepuasan, maka orang selalu mengatakan “Ja’ik luuurrr”. (Jongkie Tio)johar23
  2. Sementara itu di kalangan masyarakat Semarang mempunyai kisah menarik, terutama mereka yang tinggal disekitar daerah itu mengatakan bahwa apapun yang dibangun di atas tanah itu (bekas pendopo Kanjengan) usahanya tetap akan sepi. (Jongkie Tio)
  3. Sangat disayangkan sekali rencana membangun kembali gedung pendopo di daerah Tembalang, akhirnya tidak terwujud sebab berantakan disapu angin lesus/angin ribut. (Jongki Tio)johar24
  4. “Pasar Johar dan Yaik rata-rata menghasilkan 1,8 juta perbulan jumlah yang cukup banyak pada saat itu. hal itulah yang membuat polemik antara pihak swasta atau investor dan pemerintah itu sendiri. sehingga muncullah proyek seperti pembangunan kios-kios pasar yaik dan tempat parkir yang diresmikan pada tahun 1972” (Sumber: Suara Merdeka, Senin 14 Juli 1969).

Catatan Sejarah Simpang Lima :

Setelah Semarang tidak memiliki aloon-aloon karena untuk mengembangkan pusat bisnis Johar dan sekitarnya, akhirnya aloon-aloon Semarang dipindahkan ke kawasan Simpang Lima, demikian juga dengan kantor pemerintahan mulai digeser kesana. Beberapa catatan sejarah dari Bapak jongkie Tio :

  1. Pusat Kota Semarang pada tahun 1965 mulai bergeser dari daerah Aloon-aloon (komplek pasar Johar) ke arah selatan ke kaki-kaki bukit Candi. Ini dikarenakan sewaktu Presiden Soekarno mengatakan, bahwa Semarang harus mencari aloon-aloon baru setelah yang lama tergusur(Jongkie Tio). johar25
  2. Setelah dilakukan penelitian ternyata yang paling cocok untuk membuat aloon-aloon baru, ialah kawasan daerah ujung seteran ( sekarang Jl. Gajahmada) ke arah kaki bukit Candi. Oleh sebab daerah itu masih luas dengan hamparan sawah-sawah dan hanya ada satu perempatan yaitu Jl. Seteranterus ke jalan Oei Tiong Ham ( sekarang Jl. Pahlawan) dan ke Barat dan Timur terdapat jalan Pandanaran (dahulu Hoogerraadslaan weg dan Pieter Sijthofflaan weg). (Jongkie Tio)
  3. Proyek itu mulai dikerjakan di tahun 1965, selesai pada tahun 1969 diberi nama “SIMPANG LIMA” sebab perempatan menjadi 5 arah jalannya, yaitu ditamah jalan K.H. Achmad Dahlan. (Jongkie Tio)

 

Sangat menarik dan sekaligus sedih membaca penggalan sejarah yang menyertai perkembangan sebuah Aloon-aloon yang indah dan terintegrasi dengan baik pada masanya. Akhirnya menjadi sebuah gambar sisi kota yang suram dan kumuh saat ini. Tidak menyalahkan sebuah sejarah yang sudah terlewati, tetapi sudah saatnya mencoba untuk mengembalikan kembali kebanggan masyarakat Semarang akan sebuah Alun-alun dengan Masjid Kauman, Pendopo Kanjengan dan Pasar Johar menyatu indah.

JA’IK Luuurrrrrr….!!!!!

savejohar

LASEMAN : Akhir Panggung Hidup Generasi

tittle2

“Apakah tentang Batiknya?”

“Apakah tentang Arsitektur Tionghoa-nya?”

“Apakah tentang Kerukunan Etnis dan Agamanya?”

Berbagai pertanyaan muncul, tentang tema pemotretan setelah menerima ajakan dari seorang teman baik saya fotografer National Geographic, untuk ikut ke festival Laseman. Akhirnya, pilihan hati jatuh pada tema tentang “Generasi Tionghoa Lasem saat ini”.

laem9

Perjalanan menuju sebuah “Negeri Tiongkok kecil” pun dimulai dengan merayapi jalan “De Grote Postweg” sebuah “Jalan Pos yang Agung”, peninggalan Daendels di pesisir pantai utara. Merayapi sebuah jalan urat nadi transportasi Jawa disertai dengan buaian angin laut yang panas dan sebatas mata memandang bentangan saujana ladang garam. Here we are Lasem !

lasem19

Sejarah Singkat Peranakan Tionghoa

Lasem adalah sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang masuk kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Boleh dibilang kota ini cukup kecil dan sepi tetapi jejak sejarah kota tua ini sangatlah panjang.  Tercatat dalam Babad Lasem karya Mpu Santri Badra pada tahun 1479, di mana Lasem masuk dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang Ratu Dewi Indu yang bertindak sebagai Adipati, kemudian masa Kolonial Belanda, masa Pendudukan Jepang dan hingga masa Orde baru, kota tua Lasem selalu menjadi perlintasan dan persinggungan sejarah yang penting khususnya peranakan Tionghoa pesisir.

lasem14

Sejarah Lasem tidak bisa dilepaskan dari para peranakan Tionghoa, itulah yang membuat Lasem unik, sebuah kota kecil yang jauh berkisar 110 km dari Semarang, di sisi pesisir timur Jawa tetapi memiliki penduduk Tionghoa yang cukup banyak. Beberapa catatan sejarah berkaitan dengan asal-usul peranakan Tionghoa di Lasem :

  • Salah satu pelabuhan masa Majapahit selain Ujung Galuh (Surabaya).
  • Kota pelabuhan persinggahan dan perdagangan kapal dari Cina, untuk menjual porselain dan membeli hasil bumi seperti padi.
  • Abad 14, Armada Laksamana Cheng Ho singgah di Lasem
  • Abad 14, Bi Nang Un anggota awak kapal Laksamana Cheng Ho menetap di Lasem.
  • Na Li Ni istri Bi Nang Un dari Campa yang memperkenalkan batik peranakan Tionghoa.
  • Tahun 1740, Pemberontakan Tionghoa terhadap VOC di Batavia membuat pengungsian ke arah timur Jawa salah satunya Lasem.
  • Tahun 1825, Raden Ayu Yudakusuma memimpin penyerangan Tionghoa di daerah Ngawi, membuat Lasem menjadi salah satu tujuan pengungsian.

lasem12

Dengan sejarah panjang tentang peranakan Tionghoa di Lasem membuat kita mudah menjumpai, warga etinis Tionghoa yang membaur dalam keseharian, rumah-rumah kuno ber-arsitektur Tionghoa, Kelenteng-kelenteng kuno dan batik dengan motif peranakan Tionghoa yang khas dengan gambar naga, burung hong, bunga seruni dan warna merah darah (pewarnaan batik yang hanya ada di Lasem). Tak heran jika Lasem memiliki sebutan sebagai “Kota Tiongkok Kecil” juga terkenal dengan sebutan sebagai “Kota Santri”. Dua sebutan terkenal tersebut mencerminkan bahwa penduduk di Lasem yang multi etnis dan multi agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis dari sejak lama hingga sekarang.

lasem2

Festival Laseman

Laseman adalah sebuah acara Festival budaya Lasem yang baru pertama kali diadakan, festival ini berlangsung pada tanggal 28-29 November 2015 di desa Karangturi. Laseman yang mengusung tagline “Alon-alon waton ke Lasem” adalah sebuah pagelaran budaya yang berkonsep  meramu budaya asli Lasem, budaya kontemporer dan Pop anak muda.

lasem1

Tiga panggung telah disediakan dan tersebar di tiga tempat gang untuk berbagai agenda acara pada masing-masing panggung secara bersamaan. Penonton tinggal memilih jadwal acara pada tiap panggung yang diminati. Hari pertama acara laseman dimulai pada sore hari dan tiap panggung mulai dipadati oleh pengunjung baik dari Lasem sendiri, warga desa sekitar bahkan dari luar kota lasem.

lasem13

Pagelaran ini juga menjadi kesempatan sebagai ajang berjualan bagi para pemilik rumah disekitar panggung acara, pedagang keliling, maupun para sponsor acara, membuat suasana acara ini semakin meriah. Panggung budaya yang digelar sangat menarik dengan hadirnya para para seniman seperti Sujiwo Tejo, Anis Soleh Baasyin dan Kyai budi Harjono, serta suguhan seni Parade batik Lasem, wayang bengkong, Laesan, tari Orek-orek hingga Absurd Nation, Semarang Ska foundation dan masih banyak lainnya.

lasem4

Keluarga Opa Lo

Malam itu menyusuri keramaian acara Laseman, kaki saya terhenti melihat di balik sebuah pintu gerbang pagar khas etnis tionghoa, terlihat ruang tamu beserta perabotnya yang indah dan antik. Di depan pintu gerbang, duduk bersimpuh di lantai seorang tua berambut panjang yang telah memutih serta terlihat lusuh. Orang tua tersebut sedang melihat suasana keramaian pengunjung Laseman yang melintas di jalan depan rumahnya. Sedikit ragu saya mendekati dan menyapanya, ternyata senyum ramah menyambut dan kemudian mempersilahkan saya masuk, begitu saya menyampaikan kekaguman terhadap rumahnya. Hati terasa iba melihatnya berjalan tertatih, bungkuk dan mengharuskannya sedikit merangkak untuk menaiki 3 anak tangga ruang tamunya. Gongongan anjingnya menyambut dan membuat saya berhenti melangkah, tetapi beliau mengatakan “Ora popo ojo wedi, dhelok wae buntute nek obah-obah ngono artine seneng” (tidak apa-apa liat saja ekornya, kalau dia mengibas-ibaskan ekornya berarti senang) paparnya dalam bahasa jawa yang medhok.

lasem9

Kami, di ruang tamu yang indah dan asli, duduk di kursi jati khas jawa dengan anyaman rotan, beliau memperkenalkan dirinya Lo Geng Gwan, “Umurku Pek Cap Lak” atau 86 tahun (untuk selanjutnya saya sebut Opa Lo). Opa Lo adalah sosok orang tua yang ramah dan senang bercerita, sambil menunjukan dua foto lelaki dan perempuan yang menempel mengapit pintu masuk ruang dalam, beliau bercerita bahwa rumahnya dibangun oleh emak dan engkongnya tersebut. Rumah peninggalan emak dan engkongnya ini tidak mengalami perubahan hingga sekarang. Di rumah ini pula pada masanya pernah menjadi salah satu pabrik penghasil batik lasem. “Oma wes turu jam sak mene, biasane iseh nonton TV” (oma sudah tidur, jam segini biasanya masih nonton TV) kata Opa Lo saat melintasi sebuah kursi malas, dengan bantal dan selimut yang terlipat rapi, di depan sebuah TV layar cembung. Opa Lo terus berjalan tertatih mengajak saya melihat ke ruang belakang dimana pada masanya sebagai tempat para pengrajin batik membuat karyanya.

lasem16

Pagi keesokan harinya saya berkunjung kembali ke rumah Opa Lo, di ruang tengah saya menjumpai seorang perempuan tua duduk santai di dipan sambil melihat TV, seulas senyum ramah menyambut ketika saya dipersilahkan masuk untuk melihat kembali halaman belakang rumah. Perempuan itu adalah Oma Sri atau Oma Lim Luan Niang (86 Tahun), beliau adalah misan atau sepupu dari pihak keluarga ibu Opa Lo. Pada masa tuanya beliau memilih tinggal bersama di rumah Opa Lo ini, cerita Bibi Minuk di halaman belakang. Saya mendengarkan cerita sambil menyeruput kopi hangat yang nikmat hasil seduhannya. Menanyakan perihal kopi tersebut Bibi Minuk menimpali “Itu kopi asli koh, saya yang menumbuk sendiri”, seraya memperlihatkan biji kopi utuh dari dalam toples aluminium antik. Tidak heran aroma dan rasa pahitnya yang legit terasa, karena berasal dari biji kopi yang di sangrai sendiri, ditumbuk sedikit-demi sedikit sesuai kebutuhan, serta tetap memperhatikan cara menyimpan biji kopinya.

lasem5

“Saya ngga tahu umur saya koh, ngga tahu lahir tahun berapa?” sela Bibi Minuk, sebuah jawaban pada umumnya dari generasi tua yang tidak mengetahui/memiliki akte kelahiran, tetapi melihat rambutnya yang telah memutih menunjukkan umurnya yang telah lebih dari 65 tahunan.  Bibi Minuk berasal dari  Tuban selatan dan telah mengabdi pada keluarga Lo sejak tahun 1977. Hidup sendiri, setelah suami dan anak tercintanya meninggal, membuat Bibi Minuk memilih merantau ke Lasem dan garis nasib akhirnya mempertemukan dengan keluarga Lo. Kesetiaanya pada keluarga Lo tidak perlu diragukan, terbukti dengan penuh kesabaran dan perhatian Bibi Minuk tetap merawat dan menjaga generasi keluarga Lo hingga sekarang. 

lasem15

Opa Lo menjalani hidup di kota Lasem dari muda hingga masa tuanya, Opa Lo memilih tidak meneruskan bisnis usaha batik keluarga, mungkin pada masa itu  era keemasan batik telah meredup dan kurang memiliki prospek bisnis yang baik diterjang oleh era fashion Pop Barat. Beda dengan masa sekarang dimana batik kembali menjadi trend fashion baik untuk kalangan muda maupun tua. Terutama sejak UNESCO menyatakan batik menjadi pusaka asli Indonesia dan pemerintahpun memberikan hari besar Batik Nasional. Opa Lo muda lebih senang menjalani bisnis transportasi hingga masa tuanya, pundi-pundi tabungan pun telah tersisi seiring dengan tetes keringat tuanya. Namun nasib kadang berkata lain, Opa Lo terlalu percaya pada teman bisnisnya dan akhirnya pundi-pundi tabungan yang terkumpul untuk hari tuanya pun amblas! Hal inilah yang membuat Opa Lo sering larut pada kekecewaan yang mendalam, dan lebih sering merenung dibalik senyum ramah dan cerianya.

lasem6

“Opa berapa banyak cucunya sekarang?” tanya saya, seperti pada umumnya basa-basi pada orang tua yang telah menyandang sebutan Opa. “Opa ngga punya anak dan cucu, Opa tidak menikah” jawab Opa Lo menimpali pertanyaan saya. Menurut penuturannya, Opa Lo adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami istri keluarga Lo, dengan demikian menjadikan Opa Lo adalah generasi terakhir dari garis keturunan keluarganya. Saat ini dimasa tuanya Opa Lo mendapatkan perhatian dari para keponakan sepupunya yang tinggal di Surabaya.

lasem18

Seperti cerita yang beredar bahwa generasi muda peranakan Tionghoa di Lasem lebih banyak yang mengadu nasib dengan bekerja ke kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, mengakibatkan rumah-rumah indah ber-arsitektur peranakan Tionghoa hanya dihuni oleh para orang “sepuh” dan bahkan beberapa dibiarkan kosong dan rusak. Seperti terpapar dalam cerita tersebut, keadaan ini pun mulai menerpa dan mengikis sedikit demi sedikit generasi terakhir keluarga Lo. Rumah indah asli peranakan Tionghoa itu kini hanya dihuni oleh tiga orang “sepuh” yang mengisi “nyawa” sebuah rumah. Mereka bertiga masih tetap setia menghangatkan panggung hidup dengan lakon Generasi Peranakan Tionghoa Lasem. Opa Lo, Oma Sri dan Bibi Minuk seakan menanti takdir sang waktu, kapan panggung hidup generasi terakhir keluarga Lo tutup “kelir” tirai panggungnya.

Sedih… tetapi itulah Panggung Hidup!

lasem7

Camera Gear

Nikon DF, Lensa AIS 28mm f/2.8

Berbagai Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Lasem,_Rembang

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/kekunoan-lasem-dalam-kekinian

http://titdtrimurtilasem.blogspot.co.id/2011/07/sejarah-kota-lasem.html

http://rumahbatiklasem.com/blog/sejarah-batik-lasem/