LASEMAN : Akhir Panggung Hidup Generasi

tittle2

“Apakah tentang Batiknya?”

“Apakah tentang Arsitektur Tionghoa-nya?”

“Apakah tentang Kerukunan Etnis dan Agamanya?”

Berbagai pertanyaan muncul, tentang tema pemotretan setelah menerima ajakan dari seorang teman baik saya fotografer National Geographic, untuk ikut ke festival Laseman. Akhirnya, pilihan hati jatuh pada tema tentang “Generasi Tionghoa Lasem saat ini”.

laem9

Perjalanan menuju sebuah “Negeri Tiongkok kecil” pun dimulai dengan merayapi jalan “De Grote Postweg” sebuah “Jalan Pos yang Agung”, peninggalan Daendels di pesisir pantai utara. Merayapi sebuah jalan urat nadi transportasi Jawa disertai dengan buaian angin laut yang panas dan sebatas mata memandang bentangan saujana ladang garam. Here we are Lasem !

lasem19

Sejarah Singkat Peranakan Tionghoa

Lasem adalah sebuah kota kecil di pesisir pantai utara yang masuk kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Boleh dibilang kota ini cukup kecil dan sepi tetapi jejak sejarah kota tua ini sangatlah panjang.  Tercatat dalam Babad Lasem karya Mpu Santri Badra pada tahun 1479, di mana Lasem masuk dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang Ratu Dewi Indu yang bertindak sebagai Adipati, kemudian masa Kolonial Belanda, masa Pendudukan Jepang dan hingga masa Orde baru, kota tua Lasem selalu menjadi perlintasan dan persinggungan sejarah yang penting khususnya peranakan Tionghoa pesisir.

lasem14

Sejarah Lasem tidak bisa dilepaskan dari para peranakan Tionghoa, itulah yang membuat Lasem unik, sebuah kota kecil yang jauh berkisar 110 km dari Semarang, di sisi pesisir timur Jawa tetapi memiliki penduduk Tionghoa yang cukup banyak. Beberapa catatan sejarah berkaitan dengan asal-usul peranakan Tionghoa di Lasem :

  • Salah satu pelabuhan masa Majapahit selain Ujung Galuh (Surabaya).
  • Kota pelabuhan persinggahan dan perdagangan kapal dari Cina, untuk menjual porselain dan membeli hasil bumi seperti padi.
  • Abad 14, Armada Laksamana Cheng Ho singgah di Lasem
  • Abad 14, Bi Nang Un anggota awak kapal Laksamana Cheng Ho menetap di Lasem.
  • Na Li Ni istri Bi Nang Un dari Campa yang memperkenalkan batik peranakan Tionghoa.
  • Tahun 1740, Pemberontakan Tionghoa terhadap VOC di Batavia membuat pengungsian ke arah timur Jawa salah satunya Lasem.
  • Tahun 1825, Raden Ayu Yudakusuma memimpin penyerangan Tionghoa di daerah Ngawi, membuat Lasem menjadi salah satu tujuan pengungsian.

lasem12

Dengan sejarah panjang tentang peranakan Tionghoa di Lasem membuat kita mudah menjumpai, warga etinis Tionghoa yang membaur dalam keseharian, rumah-rumah kuno ber-arsitektur Tionghoa, Kelenteng-kelenteng kuno dan batik dengan motif peranakan Tionghoa yang khas dengan gambar naga, burung hong, bunga seruni dan warna merah darah (pewarnaan batik yang hanya ada di Lasem). Tak heran jika Lasem memiliki sebutan sebagai “Kota Tiongkok Kecil” juga terkenal dengan sebutan sebagai “Kota Santri”. Dua sebutan terkenal tersebut mencerminkan bahwa penduduk di Lasem yang multi etnis dan multi agama dapat hidup berdampingan dengan harmonis dari sejak lama hingga sekarang.

lasem2

Festival Laseman

Laseman adalah sebuah acara Festival budaya Lasem yang baru pertama kali diadakan, festival ini berlangsung pada tanggal 28-29 November 2015 di desa Karangturi. Laseman yang mengusung tagline “Alon-alon waton ke Lasem” adalah sebuah pagelaran budaya yang berkonsep  meramu budaya asli Lasem, budaya kontemporer dan Pop anak muda.

lasem1

Tiga panggung telah disediakan dan tersebar di tiga tempat gang untuk berbagai agenda acara pada masing-masing panggung secara bersamaan. Penonton tinggal memilih jadwal acara pada tiap panggung yang diminati. Hari pertama acara laseman dimulai pada sore hari dan tiap panggung mulai dipadati oleh pengunjung baik dari Lasem sendiri, warga desa sekitar bahkan dari luar kota lasem.

lasem13

Pagelaran ini juga menjadi kesempatan sebagai ajang berjualan bagi para pemilik rumah disekitar panggung acara, pedagang keliling, maupun para sponsor acara, membuat suasana acara ini semakin meriah. Panggung budaya yang digelar sangat menarik dengan hadirnya para para seniman seperti Sujiwo Tejo, Anis Soleh Baasyin dan Kyai budi Harjono, serta suguhan seni Parade batik Lasem, wayang bengkong, Laesan, tari Orek-orek hingga Absurd Nation, Semarang Ska foundation dan masih banyak lainnya.

lasem4

Keluarga Opa Lo

Malam itu menyusuri keramaian acara Laseman, kaki saya terhenti melihat di balik sebuah pintu gerbang pagar khas etnis tionghoa, terlihat ruang tamu beserta perabotnya yang indah dan antik. Di depan pintu gerbang, duduk bersimpuh di lantai seorang tua berambut panjang yang telah memutih serta terlihat lusuh. Orang tua tersebut sedang melihat suasana keramaian pengunjung Laseman yang melintas di jalan depan rumahnya. Sedikit ragu saya mendekati dan menyapanya, ternyata senyum ramah menyambut dan kemudian mempersilahkan saya masuk, begitu saya menyampaikan kekaguman terhadap rumahnya. Hati terasa iba melihatnya berjalan tertatih, bungkuk dan mengharuskannya sedikit merangkak untuk menaiki 3 anak tangga ruang tamunya. Gongongan anjingnya menyambut dan membuat saya berhenti melangkah, tetapi beliau mengatakan “Ora popo ojo wedi, dhelok wae buntute nek obah-obah ngono artine seneng” (tidak apa-apa liat saja ekornya, kalau dia mengibas-ibaskan ekornya berarti senang) paparnya dalam bahasa jawa yang medhok.

lasem9

Kami, di ruang tamu yang indah dan asli, duduk di kursi jati khas jawa dengan anyaman rotan, beliau memperkenalkan dirinya Lo Geng Gwan, “Umurku Pek Cap Lak” atau 86 tahun (untuk selanjutnya saya sebut Opa Lo). Opa Lo adalah sosok orang tua yang ramah dan senang bercerita, sambil menunjukan dua foto lelaki dan perempuan yang menempel mengapit pintu masuk ruang dalam, beliau bercerita bahwa rumahnya dibangun oleh emak dan engkongnya tersebut. Rumah peninggalan emak dan engkongnya ini tidak mengalami perubahan hingga sekarang. Di rumah ini pula pada masanya pernah menjadi salah satu pabrik penghasil batik lasem. “Oma wes turu jam sak mene, biasane iseh nonton TV” (oma sudah tidur, jam segini biasanya masih nonton TV) kata Opa Lo saat melintasi sebuah kursi malas, dengan bantal dan selimut yang terlipat rapi, di depan sebuah TV layar cembung. Opa Lo terus berjalan tertatih mengajak saya melihat ke ruang belakang dimana pada masanya sebagai tempat para pengrajin batik membuat karyanya.

lasem16

Pagi keesokan harinya saya berkunjung kembali ke rumah Opa Lo, di ruang tengah saya menjumpai seorang perempuan tua duduk santai di dipan sambil melihat TV, seulas senyum ramah menyambut ketika saya dipersilahkan masuk untuk melihat kembali halaman belakang rumah. Perempuan itu adalah Oma Sri atau Oma Lim Luan Niang (86 Tahun), beliau adalah misan atau sepupu dari pihak keluarga ibu Opa Lo. Pada masa tuanya beliau memilih tinggal bersama di rumah Opa Lo ini, cerita Bibi Minuk di halaman belakang. Saya mendengarkan cerita sambil menyeruput kopi hangat yang nikmat hasil seduhannya. Menanyakan perihal kopi tersebut Bibi Minuk menimpali “Itu kopi asli koh, saya yang menumbuk sendiri”, seraya memperlihatkan biji kopi utuh dari dalam toples aluminium antik. Tidak heran aroma dan rasa pahitnya yang legit terasa, karena berasal dari biji kopi yang di sangrai sendiri, ditumbuk sedikit-demi sedikit sesuai kebutuhan, serta tetap memperhatikan cara menyimpan biji kopinya.

lasem5

“Saya ngga tahu umur saya koh, ngga tahu lahir tahun berapa?” sela Bibi Minuk, sebuah jawaban pada umumnya dari generasi tua yang tidak mengetahui/memiliki akte kelahiran, tetapi melihat rambutnya yang telah memutih menunjukkan umurnya yang telah lebih dari 65 tahunan.  Bibi Minuk berasal dari  Tuban selatan dan telah mengabdi pada keluarga Lo sejak tahun 1977. Hidup sendiri, setelah suami dan anak tercintanya meninggal, membuat Bibi Minuk memilih merantau ke Lasem dan garis nasib akhirnya mempertemukan dengan keluarga Lo. Kesetiaanya pada keluarga Lo tidak perlu diragukan, terbukti dengan penuh kesabaran dan perhatian Bibi Minuk tetap merawat dan menjaga generasi keluarga Lo hingga sekarang. 

lasem15

Opa Lo menjalani hidup di kota Lasem dari muda hingga masa tuanya, Opa Lo memilih tidak meneruskan bisnis usaha batik keluarga, mungkin pada masa itu  era keemasan batik telah meredup dan kurang memiliki prospek bisnis yang baik diterjang oleh era fashion Pop Barat. Beda dengan masa sekarang dimana batik kembali menjadi trend fashion baik untuk kalangan muda maupun tua. Terutama sejak UNESCO menyatakan batik menjadi pusaka asli Indonesia dan pemerintahpun memberikan hari besar Batik Nasional. Opa Lo muda lebih senang menjalani bisnis transportasi hingga masa tuanya, pundi-pundi tabungan pun telah tersisi seiring dengan tetes keringat tuanya. Namun nasib kadang berkata lain, Opa Lo terlalu percaya pada teman bisnisnya dan akhirnya pundi-pundi tabungan yang terkumpul untuk hari tuanya pun amblas! Hal inilah yang membuat Opa Lo sering larut pada kekecewaan yang mendalam, dan lebih sering merenung dibalik senyum ramah dan cerianya.

lasem6

“Opa berapa banyak cucunya sekarang?” tanya saya, seperti pada umumnya basa-basi pada orang tua yang telah menyandang sebutan Opa. “Opa ngga punya anak dan cucu, Opa tidak menikah” jawab Opa Lo menimpali pertanyaan saya. Menurut penuturannya, Opa Lo adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami istri keluarga Lo, dengan demikian menjadikan Opa Lo adalah generasi terakhir dari garis keturunan keluarganya. Saat ini dimasa tuanya Opa Lo mendapatkan perhatian dari para keponakan sepupunya yang tinggal di Surabaya.

lasem18

Seperti cerita yang beredar bahwa generasi muda peranakan Tionghoa di Lasem lebih banyak yang mengadu nasib dengan bekerja ke kota besar seperti Surabaya atau Jakarta, mengakibatkan rumah-rumah indah ber-arsitektur peranakan Tionghoa hanya dihuni oleh para orang “sepuh” dan bahkan beberapa dibiarkan kosong dan rusak. Seperti terpapar dalam cerita tersebut, keadaan ini pun mulai menerpa dan mengikis sedikit demi sedikit generasi terakhir keluarga Lo. Rumah indah asli peranakan Tionghoa itu kini hanya dihuni oleh tiga orang “sepuh” yang mengisi “nyawa” sebuah rumah. Mereka bertiga masih tetap setia menghangatkan panggung hidup dengan lakon Generasi Peranakan Tionghoa Lasem. Opa Lo, Oma Sri dan Bibi Minuk seakan menanti takdir sang waktu, kapan panggung hidup generasi terakhir keluarga Lo tutup “kelir” tirai panggungnya.

Sedih… tetapi itulah Panggung Hidup!

lasem7

Camera Gear

Nikon DF, Lensa AIS 28mm f/2.8

Berbagai Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Lasem,_Rembang

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/kekunoan-lasem-dalam-kekinian

http://titdtrimurtilasem.blogspot.co.id/2011/07/sejarah-kota-lasem.html

http://rumahbatiklasem.com/blog/sejarah-batik-lasem/